Julia Perez dan Dewi Perssik adalah dua penari Jaipong yang bersaing untuk menjadi primadona klub. Untuk menjadi primadona, Jupe dan Depe harus memakai baju seksi yang menampakkan belahan dada dan kain tipis menerawang. Persaingan terjadi di atas panggung sebuah klab malam saat keduanya menarikan tarian erotis.
Memasuki bioskop, kami disambut poster film Arwah Goyang dengan plester hitam besar pada tulisan Karawang. Judul film yang semula Arwah Goyang Karawang diganti menjadi Arwah Goyang Jupe Depe.
Sepertinya setengah durasi diisi dengan tarian Jupe dan Depe. Jupe menari seperti kesurupan diiringi suara auman harimau. Sepertinya Pada puncak kesurupannya, Jupe tiba-tiba punya taring seperti drakula. Sampai film berakhir, maksud adegan ini tetap menjadi misteri.
Efek hantu dirancang sebagai alat untuk mengagetkan penonton. Kemunculan hantu selalu diawali dengan auman harimau dan musik latar yang menegangkan. Jreng! Hantu muncul selama satu detik dalam wujud ala topeng di film Scream yang memenuhi layar.
Pola film ini adalah tarian erotis-kemunculan hantu-perkelahian Jupe Depe-tarian erotis-kemunculan hantu dan seterusnya. Hantu itu membunuhi orang yang terkait dengan Jupe, juga membunuh beberapa orang secara acak. Pada akhirnya terungkap bahwa hantu itu adalah saudara kembar Jupe yang dendam karena suaminya direbut dan dia dibunuh. Anehnya, hantu itu juga membunuh suaminya sendiri, entah karena alasan apa.
Jalan cerita yang sederhana dibuat dengan tidak konsisten. Tak perlu bertanya tentang pembangunan karakter, karena semua karakter bergerak sesuai keinginan sutradara. Beberapa adegan sebenarnya tidak perlu ada, seperti adegan Jupe mandi kembang tengah malam.
Jangan lupa adegan legendaris perkelahian nyata Depe Jupe. Kedua perempuan ini berkelahi dengan mengadu dada. Tak lupa, tulisan "adegan nyata" ditempelkan di sudut kanan bawah agar penonton tidak melewatkan adegan yang sempat ramai diberitakan infotaintment itu.
Pembuat film merasa perlu menanamkan moral dari film ini, bahwa penari jaipong tak seharusnya menari striptease. Moral ini ditunjukkan saat hantu yang menyamar menjadi Jupe menolak menari jaipong striptease. "Saya merasa telah menyalahgunakan kesenian," kata dia, dua kali.
Penonton hari itu cukup banyak, sebagian besar adalah anak-anak muda usia belasan. Mereka datang berdua dan berombongan. Penonton yang datang berombongan memilih tempat duduk tepat di tengah, tempat terbaik untuk menikmati film. Mereka yang menonton berdua kebanyakan memilih duduk di pojok yang sepi.
Film dibuat dengan format digital, setelah itu barulah dipindahkan dalam format seluloid. Trik ini biasa dilakukan untuk menekan ongkos produksi, karena merekam langsung dengan format seluloid butuh biaya jauh lebih mahal. Hasilnya adalah film yang murah dengan gambar kualitas rendah.
Kualitas gambar sangat rendah dan kadang berbayang. Pengaturan cahaya sangat buruk sehingga saya seringkali harus menutup mata karena tak tahan dengan lampu sorot yang menyilaukan.
Kata-kata kasar dan umpatan bertebaran sepanjang film. Kami menghitung ada 19 kata "lonte" diteriakkan sepanjang film, ditambah satu yang tertulis di kaca dengan darah.
Tidak jelas di mana setting film ini. Lokasi syuting menunjukkan bangunan-bangunan di sebuah kota kecil. Tapi saat adegan berganti, tiba-tiba layar menyorot ke jalan dengan gedung bertingkat yang jelas-jelas Jakarta.
Keluar dari bioskop dengan sangat lega karena film akhirnya selesai, saya melihat poster film selanjutnya sudah tersedia. Dedemit Gunung Kidul, Cewek Saweran dan Pocong Ngesot dengan slogan "ketika pocong tak lagi loncat". Tiba-tiba saya mengerti kenapa para penikmati film sangat khawatir ketika muncul isu bahwa film asing tak lagi bisa dinikmati di bioskop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar